Acha part 2 : Aku manusia biasa
Bapak tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.
"Cha, biarkan Raya di sini dulu. Kasihan ibu kalau tiba-tiba Kamu ajak pulang." bapak menepuk pundakku pelan.
"Ya sudah, besuk pagi aku jemput Raya ya Bu."
Ibu mengangguk tanda setuju dengan negosiasi yang kuajukan.
Sampai rumah aku langsung masuk kamar. Kutumpahkan segala rasa yang dari tadi aku tahan. Menahan emosi memang menyesakkan. Mengapa ibu selalu begitu. Mau memang sendiri. Ya Allah. Astaghfirullah.
Setelah puas membuat basah bajuku dengan airmata lalu kubasuh mukaku dengan air wudhu. Azan Magrib sudah memanggilku untuk menjumpai kekasih hati.
Selesai mengadu dengan-Nya, hatiku menjadi lebih tenang. Kemudian kulangkahkan kaki ke dapur untuk menyiapkan hidangan untuk makan malam.
Menjelang pukul 20:00 belahan jiwaku pun pulang. Setelah membersihkan diri barulah kusambut dengan mencium tangannya. Kami makan malam. Kemudian kuceritakan tentang kejadian sore tadi di rumah bapak.
Seperti biasa ayahnya Raya ini mendengarkan semua ceritaku dengan diam kemudian beliau mengatakan hal yang selalu menenangkanku jika berselisih dengan ibu yaitu sudahlah sayang, ibu masih kangen atau ibu masih pengen main dengan Raya.
Sebenarnya ibu mertuaku pun menginginkan Raya juga menginap di rumahnya dalam jangka lama. Misalnya waktu aku isolasi mandiri di rumah ibu mertuaku bersedia merawat Raya tetapi ibu juga menawarkan diri. Suamiku akhirnya menyerahkan Raya ke ibuku dengan alasan ibu lebih dekat jarak rumahnya.
Aku tahu bukan hal itu sebenarnya. Karena suamiku tidak ingin ibu semakin iri dengan ibunya. Ibu pernah bicara secara langsung tentang sikap iri nya kepada ibu mertuaku. Kami dibilang pilih kasih.
Masih membekas dalam ingatanku ketika ibu datang ke rumah ini dan melihat Raya di gendong besannya. Ibu langsung menunjukkan sikap tidak sukanya.
Ya Allah.
Keesokan paginya, adikku telepon yang mengatakan bahwa bapak positif covid. Bapak harus isolasi mandiri di rumah. Bapak kebetulan sedang kumpul di pos ronda dengan beberapa tetangga tiga hari yang lalu. Mereka tidak ada yang memakai masker. Kebetulan salah satunya positif tetapi tidak ada gejala yang seharusnya di rumah saja tetapi malah nongkrong di pos ronda.
Aku pun langsung bergegas dengan Ayahnya Raya ke rumah bapak. Ibu dan adikku tes juga tadi pagi Alhamdulillah hasilnya negatif dan Bapak isolasi di rumah kecil dekat rumah induk.
Sampai di rumah bapak, langsung aku panggil adikku dari luar pagar. Adikku sudah menggandeng Raya. Ibu lagi di dapur. Akhirnya Raya ku ajak pulang karena bapak positif dan supaya ibu dapat fokus ke kesehatan bapak.
Begitu sampai rumah, gawaiku berdering. Ibu yang menelepon.
"Acha, kamu ini bagaimana sih ambil Raya seenaknya dan tidak bilang ibu." Ibu langsung dengan amarahnya.
"Bu, kan tadi aku sudah wa ibu dan sudah bilang ke adik juga. Adik juga jelasin ke ibu kan mengapa kami bawa Raya pulang."
"Kenapa? Karena bapak positif?"tanya ibu, "kamu ini disekolahkan tinggi dan punya keahlian di bidang kesehatan tetapi tidak mau merawat bapakmu sendiri. Kamu lebih takut dengan virus dibanding merawat bapak" suara ibu mulai parau karena emosi dan airmata sudah tidak terbendung.
"Astaghfirullah, ibu kenapa bicara begitu. Cukup orang sekitar sini yang sinis dan jijik sama aku setiap aku pulang kerja, cukup hanya mereka yang tidak mau lewat depan rumah dan menjauhi rumah ini saat aku terpapar covid. Cukup mereka saja yang bicara kalau tenaga medis sengaja membuat ini semua supaya dapat uang. Please jangan bapak dan ibu yang bilang begitu, " ratapku.
"Memang demikian kan?"
"Astaghfirullah, Bu." Kututup telepon dari ibu.
Biarlah ibu menuduhku bagaimana karena kuputuskan teleponnya.
Suamiku datang dan merengkuhku dalam hangatnya pelukan. Kutumpahkan segala rasa di dadanya.
Setelah tenang, suamikupun memintaku untuk menjelaskan saja ke adik yang bisa menjembatani antara aku dan bapak ibu.
Aku telepon adikku. Katanya memang ibu marah besar. Ibu kecewa sama aku. Bapak pun kirim pesan di WhatsApp juga mengatakan hal yang sama. Adikku sudah menjelaskan kondisi saat ini tetapi mereka tetap tidak mau menerima.
Hatiku merasa sakit tapi senyum tetap harus kusunggingkan. Ibu maafkan anakmu yang belum bisa menyelami hatimu yang biasanya begitu lembut memeluk tubuh kecilku.
0 komentar