Acha

Namaku Acha. Aku seorang ibu rumah tangga yang kebetulan sebagai tenaga medis. Kebidanan yang kupilih sebagai langkahku untuk mengabdi kepada masyarakat.

Awalnya kehidupanku aman, nyaman tenteram meskipun riak dan kerikil juga kadang menghampiri dalam rumah tangga maupun saat menjalankan profesi.

Meskipun aku seorang bidan tetapi buat anak sangat kujaga terutama untuk imunisasinya. Selain imunisasi dasar yang dapat kulakukan sendiri, jika sudah jadwalnya kuajak anakku ke dokter anak yang ada di kotaku yang meskipun terpencil tetapi Alhamdulillah ada dokter yang bersedia mengabdi di rumah sakit yang awalnya merupakan klinik bersalin.

Banyak omongan dan cibiran setiap anakku habis imunisasi diluar imunisasi dasar. 

"Ibunya bidan, tetapi anak imunisasi saja harus ke dokter. Bidannya benar tidak tuh?" 

Demikian antara lain omongan yang mampir di telingaku yang meskipun sudah kututup jilbab tapi masih saja mampir ke dalam rongga telingaku.

Suamiku saja tidak mempermasalahkan mengapa orang lain yang repot begitu selalu yang kutanamkan dalam diriku.

Badai itu pun datang. Wabah penyakit yang hampir 2 tahun merajalela dan meluluhlantakkan tidak hanya dibidang kesehatan, perekonomian bahkan hubungan kekerabatan dan keluarga.

Awalnya aku diperbantukan di puskesmas sebagai tenaga kesehatan yang memberikan vaksin. Setiap hari ratusan orang yang antri sedangkan kondisiku sebenarnya tidak memungkinkan untuk memforsir tenaga karena keadaanku yang berbadan dua.

Aku tidak bisa menolak dengan alasan sedang hamil karena saat ini memang sedang banyak dibutuhkan tenaga medis karena sudah banyaknya rekan sejawat yang terpapar virus ataupun meninggal karena virus. 

Aku sudah mulai merasakan tidak enak badan tetapi panggilan tugas harus dilaksanakan. Masih banyak yang membutuhkan vaksin hari ini. 

Pulang dari puskesmas hari itu, aku jatuh sakit. Akhirnya kutest Pcr dan hasilnya positif. Sedih pasti, merana iya. Harus istirahat dan isolasi kumemilih di rumah saja.

Suamiku hasil test Pcr nya negatif tetapi melihat keadaanku beliau inisiatif yamg merawat dan menjagaku. Anak pertama kutitipkan orangtuaku yang rumahnya hanya berbeda RT saja dengan rumahku.

Ibu dan bapak sangat senang cucu pertamanya itu menginap bahkan dalam waktu yang lama. 

Keadaanku semakin drop tetapi aku tidak boleh menyerah. Obat anti virus yang aman buat ibu hamil selalu aku konsumsi setiap hari, berjemur, makan makanan sehat dan minum vitamin. Suamiku begitu perhatian dan rela merawatku serta kerinduan akan putra pertamaku yang membuatku berjuang untuk melawan virus.

Alhamdulillah setelah beberapa hari indera penciuman yang awalnya kabur entah kemana akhirnya kembali juga. Kusujud syukur ke hadirat Ilahi Rabbi. Semangat untuk sembuh semakin membara. 

14 hari pun kulewati. Aku dan suami melakukan test Pcr kembali. Alhamdulillah hasilnya negatif. Betapa senangnya hatiku. Tanpa kusadari ternyata suamiku sedekah ke beberapa teman yang terpapar juga serta ke orang yang lebih membutuhkan. Mungkin itu lah yang membuat aku semakin membaik. Karena kata pak Ustadz sedekah itu menolak bala dan penyakit.

Hari ke 20 akupun dengan suka cita dan sedikit terburu-buru memacu motor matic hadiah dari bapak waktu lulus D3 kebidanan.  Sampai di rumah bapak sudah tidak sabar rasanya ingin menemui Raya, anakku tercinta.

Raya berlari kecil menyambutku. Anak 2 tahun itu tertawa sambil memanggil "mama, mama" Ya Allah aku merindukannya. 

Kusambut Raya dengan memeluknha erat seolah tidak ingin berpisah lagi. Celotehan Raya yang belum banyak kosakata membuatku menangis terharu. Ya Allah begini banget rasanya. 

Aku akan mengajak pulang Raya ketika tiba-tiba ibu menghalangi langkahku.

"Acha, mau kamu bawa kemana Raya?" tanya ibu setelah berhasil menghentikan langkahku. 

"Kuajak pulang lah Bu. Kan aku sudah dinyatakan sehat dan hasil test 2 kali juga negatif. Ayahnya Raya juga sama hasilnya. Sudah ke kantor lagi tadi pagi." jawabku.

"Raya tidak boleh kamu bawa pulang. Raya sama nenek saja ya. Di sini saja ya menemani kakek, nenek dan Tante Sari.?" Ibu merayu Raya.

"Bu, Raya kan masih butuh aku. Mamanya. Memang kemarin kutitipkan ibu supaya Raya tidak terpapar virus itu."

"Pokoknya tidak boleh. Sini Raya ayo ikut nenek." 

Raya kebingungan. Dia melihat ke arahku dan ke arah ibu. Pelukan raya sangat kuat di bahuku.

"Bu, maaf aku ajak pulang Raya ya. Aku dan ayahnya sudah kangen banget. Bukan tidak berterima kasih kepada bapak dan ibu tetapi Raya kan memang masih butuh aku sebagai mamanya."





"






0 komentar