Basahnya Netra Bapak
Oleh : Agung Handayani
Ramadan kali ini sama tetapi berbeda bagi keluargaku dan mungkin juga keluarga lain. Pandemi covid 19 yang menyebabkan kondisi ekonomi di seluruh dunia terkena dampaknya.
Warung Rama ,itulah nama usahaku, meskipun masih ada pembeli tetapi tidak seramai seperti Ramadan sebelumnya. Tempat keluargaku menggantungkan hidup sehari-hari ini menjual sembako. Tiba-tiba ada yang bergetar di saku celana tanda ada telepon masuk ke gawaiku. Kumerogoh saku celana dan mengambil handphone.
"Assalamualaikum Ram, bagaimana kamu mudik kan Le?" tanya bapak.
Aku hampir lupa kalau bapak memintaku pulang kampung setelah Ramadan tahun kemarin tidak menemui orang tua yang sangat kurindukan itu.
"Waalaikumussalam, Insyaallah Pak, doanya ya semoga kami bisa mudik," sahutku sambil berpikir tabungan yang belum cukup untuk biaya perjalanan.
"Aamiin. Bapak dan ibu selalu doakan. Ya sudah, salam buat Rina dan cucu-cucu Kakung ya," bapak pun menutup teleponnya.
Aku termangu. Ya Allah, bagaimana ini? Uang untuk pulang kampung belumlah cukup dan warung juga lagi sepi pembeli.
Di rumah.
Aku sedang melamun ketika Rina, istriku, mengantarkan secangkir kopi hitam kesukaanku. Wanita berjilbab ini memperhatikanku. Sejak pulang dari warung memang aku lebih banyak diam.
"Ada apa Mas?" tanya Rina.
"Bapak minta kita mudik. Toko lagi sepi dan tabungan belum cukup, Dik," ceritaku, "Aku bingung."
"Ya sudah Mas saja yang mudik, atau sebelum lebaran saja Mas jadi lebih murah harga tiket bus nya." Rina memberikan solusi.
"Bapak maunya kita semua pulang, Dik. Ah bapak tidak tahu apa keadaan lagi begini juga memaksa mudik."
"Astaghfirullah, istigfar Mas." Aku pun masuk ke kamar meninggalkan Rina.
Di dalam kamar aku termenung di depan jendela. Tatapanku jauh ke kampung halaman. Wajah Bapak dan Ibu menari-nari di pelupuk mataku. Sebenarnya aku rindu untuk pulang tetapi rasa malu sedang menyergapku begitu kuat. Minder dengan teman-teman sekolah dulu yang prestasi akademis mereka berada di bawahku tetapi sekarang kehidupan dan pekerjaan mereka jauh di atasku.
Benar kata istriku bahwa aku bisa pulang sendiri meskipun bapak meminta Rina dan anak-anak juga ikut tetapi perasaan rendah diriku lebih merajai hati dan meruntuhkan harga diri. Aku ingat perkataan seorang teman di grup sekolah kalau Rama orang sukses kerja di Ibukota dan yang lain membalas dengan kalimat lebih menohok lagi yaitu sudah jelaslah karena Rama kan langganan rangking satu.
Ah, seandainya kalian tahu bagaimana aku di Ibukota yang hanya penjual sembako jerit batinku.
H-5 lebaran
"Mas, Bapak telepon." Rina menyerahkan handphone kepadaku.
Aku menerima handphone itu dengan malas, "Assalamualaikum, ya Pak?"
"Le, sudah beli tiket belum? Pak Karto, tetangga sebelah, anaknya mudik naik bus bawa surat hasil test antigen. Alhamdulillah tadi pagi sudah sampai sini. Pak Karto tadi cerita," bapak langsung memberondongku. "Bagaimana Ram?"
"Belum tahu Pak," sahutku malas. "Nantilah kupikirkan lagi."
"Sudah hampir lebaran Ram. Cepat diurus syarat-syarat untuk surat di jalan supaya bisa mudik."
"Pak, Bapak tahu tidak sih kalau mengurus surat-surat itu butuh biaya dan harus antri berjam-jam, siapa nanti yang jaga toko? Bapak maksa banget sih!" Bentakku. "Sudahlah Pak! Wassalamu'alaikum." Aku menutup telepon.
Rina kaget mendengar aku bicara dengan emosi ke bapak. Wanita cantik itu menghampiriku.
"Astaghfirullah, Kamu kenapa Mas bicara sama Bapak kok pakai emosi segala?" tanya Rina.
"Diam kamu!" hardikku sambil berlalu.
Rina pun istigfar berkali-kali. Air mata sudah membanjiri mata indahnya.
Sama dengan keadaan seorang laki-laki tua yang sedang duduk terdiam di gubuk tengah sawahnya yang hijau segar, puluhan kilometer dari Ibukota Jakarta, netra orang tua itu basah. Selama ini belum pernah sesedih ini akibat perkataan anaknya, ya beliau adalah bapakku.
Dua hari kemudian..
Aku masih asyik bercengkrama dengan lamunanku. Bagaimana kabar bapak ya? apa beliau marah? kenapa bapak tidak menelepon lagi dua hari ini untuk menanyakan apa aku jadi mudik atau tidak? bapak tidak mungkin sakit hati dengan perkataanku waktu itu. Rina pasti salah.
Teriakan pembeli menghentikan lamunan, aku pun melayaninya. Alhamdulillah hari ini berbeda dengan hari-hari kemarin mungkin karena mendekati lebaran jadi orang-orang mulai persiapan untuk merayakan hari nan Fitri itu.
Menjelang magrib aku sudah sampai rumah. Rina menyambutku seperti biasa. Istri salihah ini tidak berubah sikap meskipun akhir-akhir ini aku sering bernada tinggi setiap dia menyinggung perkataanku kepada bapak. Anak-anak sudah siap di meja makan ketika aku selesai mandi.
Adan magrib berkumandang tanda berbuka puasa bagi umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa. Selesai memenuhi hak jasmani kami dengan makan kurma dan minum air putih, aku dan keluarga pun menunaikan salat magrib. Belum selesai berzikir ketika gawaiku berbunyi.
"Assalamualaikum Mas," ternyata adikku yang menelepon, "Mas, Bapak sakit. Beliau selalu mengigau menyebut namamu. Mata bapak juga selalu basah oleh air mata."
"Astaghfirullah. Bapak kenapa Dik? Bapak sakit apa?" aku mulai panik.
"Belum tahu Mas, sekarang bapak lagi ditangani dokter," kata adikku.
Badanku langsung lemas. Ingatanku kembali ke hari terakhir bapak meneleponku. Ya Allah aku tidak menyangka bapak sesedih itu dengan kalimatku waktu itu. Padahal dulu bapak biasa saja jika adu argementasi bahkan sampai aku bentak sekalipun. Batinku sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Airmata pun mengalir dari sudut mataku. Pelukan hangat Rina membangunkanku dari perasaan bersalah yang teramat sangat. Aku menyesal sekali kenapa waktu itu sampai bicara dengan nada tinggi ke bapak.
Orang tuaku hanya kangen padaku. Kenapa rasa minder dan rendah diri kepada teman-teman menutup dan merajai mata batinku. Astaghfirullah. Aku kembali menangis menyesal telah menyakiti hati bapak, teriakku dalam diam. Selama ini belum pernah aku melihat netra bapak mengeluarkan airmata.
Rina memintaku segera ke Bandara untuk membeli tiket dan test genose, sebagai syarat perjalanan naik pesawat. Wanita cantik itu juga sudah menyiapkan koper dan menyerahkan amplop berisi uang kepadaku. Tabungannya dari hasil menyisihkan sisa uang belanja selama 10 tahun kami berumah tangga. Kupeluk Rina sambil minta maaf karena sikapku akhir-akhir ini.
Aku pun berangkat ke Bandara.
Begitu sampai di kampung halaman, aku langsung ke rumah sakit tempat bapak dirawat.
Mataku tertegun melihat sesosok lelaki tua yang kurus tak berdaya terbaring lemah di sudut kamar rumah sakit. Ya Allah betapa jahatnya aku kepada bapak. Mataku sudah basah oleh airmata ketika mendekati bapak yang harus merasakan sakitnya ditusuk jarum infus.
"Pak, ini Rama," ucapku sambil memegang tangan bapak dan menatap wajah tua itu. Ya Allah netra bapak basah. Kata adikku airmata beliau selalu mengalir, dokter pun tidak tahu penyebabnya.
Mata tua itu terbuka, "Rama? Benarkah ini Kamu?" lirih suara bapak.
"Iya Pak. Ini Rama," jawab Rama sambil memeluk tubuh bapaknya erat.
"Aku menyesal berkata dengan emosi waktu itu ke Bapak hanya karena minder dengan teman-teman. Maafkan aku, Pak."
"Bapak sudah memaafkan Kamu. Maafkan Bapak ya karena memaksamu untuk pulang." Kata bapak ditelingaku.
"Rama?" tiba-tiba suara wanita tua yang sudah sangat familiar yang mengandungku 9 bulan 10 hari memanggil namaku dengan ragu.
"Ibuuu," aku pun memeluk kemudian bersimpuh di kaki ibu, "Maafkan aku, Bu, karena perkataanku waktu itu telah melukai perasaan bapak begitu dalam."
"Bapak dan ibu sudah memaafkanmu sebelum kamu minta. Ram, mungkin Kamu heran kenapa bapak bisa terluka dengan kalimatmu di telepon. Sedangkan dulu jika kalian berdebat bekiau biasa saja meskipun Kamu bicara dengan nada tinggi." Ibu mengajak Rama untuk duduk.
"Tanpa kamu ketahui, sebenarnya bapak sedih dan kadang menangis tapi tangisannya bercampur rasa bahagia. Ya bahagia karena kamu tumbuh menjadi anak yang pintar dan punya pendirian. Tidak menyesal bapak banting tulang bekerja di sawah dan juga menjadi buruh bangunan. Kamu tidak tahu kan kalau bapak menjadi kuli? Itu semua beliau kerjakan supaya Kamu bisa mengenyam pendidikan tinggi." Ibu menghela nafas.
"Setiap selesai berdebat denganmu bapak selalu mengatakan tidak apa-apa Rama tadi bicara dengan nada tinggi, itu karena dia teguh pada pendiriannya. Bapak selalu bangga padamu. Rindu berdebat denganmu. Tidak pernah mempermasalahkan apapun pekerjaanmu. Beliau malah bangga karena kemandirianmu. Kamu bos untuk dirimu sendiri. Engkau menjadi kepala semut bukan menjadi ekor gajah seperti teman-temanmu yang lain."
Astaghfirullah. Aku benar-benar menyesal telah menggantikan kerinduan bapak dengan rasa minderku. Ya Allah sembuhkan Bapak aamiin, doaku dalam sujud di sepertiga malam dan salat tobatku.
--------+++++---------
Agung Handayani yang biasa di sapa agung atau hanie, seorang ibu rumah tangga yang saat ini sedang belajar di dunia penulisan untuk menggiatkan literasi. Karya nya yang sudah dibukukan yaitu : Ikhlas Tanpa Tapi (buku antologi Foto Terindah), Menabung Rindu (buku antologi Home Sweet Home) dan Buku antologi Kelana Maaf. Memasuki dunia literasi untuk keluar dari zona nyaman, berkarya, berdampak dan bermanfaat, disamping menjalankan perannya sebagai istri, membersamai anak, trainer read aloud, koordinator Alumni Binar dan aktif di komunitas @ibuhebatku.id