Andai

 Pov : Anak 

Ibu menanyakan lagi mengenai kesepakatan yang memang kusepakati dengan suamiku. Kutahu dan masih hafal dengan jelas akan tetapi situasi dan kondisi diluar bayangan dan perkiraan kami. Mertuaku sudah tua dan belahan jiwaku tidak tega jika mereka hanya berdua di rumah.

Dilema bagiku.

Tanpa ibu ketahui sebenarnya suamiku mengeluh ketika tinggal di rumah orangtuaku. Kebiasaan yang biasa dia lakukan merupakan hal yang dilarang karena tidak sesuai dengan bapak dan ibu. Awalnya memang semua baik-baik saja. Adaptasi yang dilakukan masing-masing penghuni rumah pun sudah berjalan seiring seirama. 

Ombak kecil datang yang membuat suamiku merasa tidak nyaman. Menjadi cenderung diam dan sering memberikanku nada tinggi tetapi akan berubah seperti biasa ketika jadwal ke rumah orangtuanya menghampiri kami. Kerikil - kerikil yang awalnya kecil menjadi batu sandungan buat keluarga kecilku. 

Akhirnya setelah genap setahun suamiku memintaku tinggal di pondok indah mertua.

Babak baru buatku tinggal di rumah mertua. Awalnya kumerasakan kedamaian. Kehangatan yang sama dengan tempatku dilahirkan. Kegiatan domestik kukerjakan dengan sepenuh hati akan tetapi yang awalnya tanpa ada celaan lambat laun muncullah kritikan dan perkataan yang membuatku tak terasa mengalirkan sebutir dua butir air di netraku. 

Cerita yang pernah kulihat di sinetron berlogo ikan terbang ternyata kualami di usia pernikahanku yang genap setahun. Sebenarnya keinginan untuk tinggal sendiri meskipun hanya rumah petakan menjadi impianku sebelum membangun mahligai rumah tangga akan tetapi dalam kenyataannya mimpi itu hanya tinggal mimpi yang dengan cepat tergerus oleh derasnya logika demi logika yang dilontarkan suamiku.

Kususut airmata yang mulai menetes. Inikah yang juga pernah dirasakan suamiku yang mungkin tidak mampu menahan akhirnya terimbas kepadaku. Apakah juga bisa kuceritakan pahitnya perkataan orangtuanya kepada belahan jiwaku. Ku tak mampu. Ku tak bisa. Semua terpendam. 

Perkataan ibu dan bapakku mengenai keinginan supaya kami tinggal lagi bersama mereka membuatku tak mampu berkata-kata. Topeng yang menyunggingkan senyuman lah yang selalu kusuguhkan saat kumengunjungi mereka di akhir pekan. Protes ibuku kujawab dengan senyum yang aku sendiri tidak dapat mengartikannya. Ah munafiknya kau hati.

Komunikasi. Mungkin itulah jawaban dari semua ini. Bagaimana harus kumulai? Ah, lagi-lagi dalam hatiku berperang. Di satu sisi orangtua dan di satu sisi suami. Semua tidak ada yang berusaha menyelami samudera hatiku. Menanyakan perasaanku. Kenyamananku.

Berusaha menuliskannya semua dalam diari yang sudah lusuh termakan usia dan selalu basah oleh banjirnya anak sungai netraku. Memang semua harus dikomunikasikan dan dipecahkan berdua dengan suamiku. Sanggupkah aku? Itulah aku yang peragu dalam setiap mengambil keputusan. 

Benar adanya suamiku tidak sanggup tinggal dirumah bapak dan ibu. Jika menginap di akhir pekan atau hari libur masih beliau setujui. Menimbang juga kesehatan ibuku kuajukan sebuah pendapat. Belahan jiwaku memang memikirkan hal itu makanya jatah ke rumah mereka ditambah akan tetapi untuk tinggal seperti dulu sudah tidak memungkinkan mengingat dalam prinsip keluarganya laki-laki yang sudah menikah tidak tinggal serumah dengan mertuanya.

Ketika kuceritakan masalahku di rumah ini, jawabnya hanya akan dikomunikasikan dengan orangtuanya. 

Ah, inikah penyelesaian? 

Sepertinya tidak. 

Wajah ibu muncul di pelupuk mata. Wajah penuh harap aku mau menemaninya. 

Ibu, maafkan anakmu yang masih banyak harus belajar memilih. Kutak tahu dalamnya hatimu saat melihat senyuman yang kusunggingkan ketika membersamaimu di akhir pekan. Satu pintaku kepada pemilikmu, penciptamu untuk selalu menjagamu dan mengangkat penyakitmu serta menyehatkanmu. 

0 komentar