Hati perempuan
"Saaaahhh!!"
Airmata membanjiri netraku. Teriakan yang diiringi tepuk tangan riuh para saksi dan tamu undangan yang menghadiri pernikahan putriku menyadarkanku bahwa surga anakku sudah beralih kepada suaminya.
Kususut airmata ini saat kulihat putri tunggalku melihat ke arahku. Bahuku direngkuh Ibu. Hangat merasuki tubuh. Menguatkan tubuh lemahku yang tidak mampu menahan beban keharuan dan segala rasa yang ada saat menyaksikan ijab kabul.
Berjuta rasa dan pertanyaan meskipun sebelumnya sudah ada kesepakatan mengenai dimana mereka akan tinggal dan janji untuk tetap merawat dan menjagaku meskipun mantuku juga anak tunggal.
Dibandingkan papanya, anakku lah yang paling bisa mengerti dan memahami kondisiku. Kebutuhanku.
Kegundahan yang harus kutepis ketika anak dan menantuku dibimbing untuk duduk di pelaminan artinya akupun harus mendampingi mereka. Suamiku mendekatiku kemudian memegang tanganku dan membantu memegang tubuhku supaya bisa mengayunkah langkah menuju pelaminan.
Berdiri di atas panggung pelaminan ini kucoba bersikap gagah dan baik baik saja. Itulah aku yang selalu bisa menyembunyikan segala rasa di dasar samudera hati. Sanak saudara pun mulai menaiki tangga kecil kemudian berjalan pelan menuju kursi pengantin.
Kusalami mereka satu per satu sambil tersenyum sumringah. Lagi-lagi topeng kugunakan menutup wajah cantikku.
****
Hampir tiga tahun usia pernikahan anakku. Memang yang kukhawatirkan benar adanya. Kesepakatan yang melambungkan hatiku berlangsung hanyalah setahun. Selebihnya kumenunggu dan berharap keajaiban.. etrsdf
Memang anak dan menantuku di awal pernikahan masih tinggal di rumah ini. Bahagia yang kurasa meskipun adaptasi karena ada "prang baru" tetaplah ada meskipun mereka pernah pacaran 4 tahun lamanya. Kusadar juga bahwa laki-laki yang menjadi suami anakku ini juga pasti berusaha beradaptasi di rumah ini.
Kumencoba jadi mertua yang baik meskipun tubuhku sudah digerogoti penyakit turunan yang melukai pankreas ini sudah berimbas ke organ tubuh lain akibat terlalu banyak obat yang kuminum sebagai ikhtiar untuk sehat. Kubantu anakku masak dan sering mengajak ngobrol mantuku.
Memang tidak mudah bagi kami untuk beradaptasi. Ada saja yang menurutku salah melihat keseharian menantuku. Pun suami anakku ini mungkin juga merasa kurang nyaman akibat kebawelanku meskipun kulakukan karena sayang dan dia sudah kuanggap sebagai anakku jauh sebelum kata sah itu diteriakkan saksi.
Mereka memang datang ke rumah setiap dua minggu sekali. Selebihnnya tinggal di rumah besan. Awalnya aku sempat protes ke putriku. Alasan mertuanya sakit membuat ku tak berkutik.
Barang-barang anak dan menantuku di sini juga sudah mulai berkurang dibawa ke rumah mertua putriku. Pernah kutanyakan ke anakku mengapa tidak tinggal di rumah ini lagi. Jawaban yang tidak kuharapkan pun meluncur dari bibir mungilnya bahwa mertuanya sudah tua dan suaminya tidak tega kalau meninggalkan bapak ibunya.
Deg. Serasa ribuan jarum menyerangku dan menghujamku. Kuingatkan lagi mengenai kesepakatan dan aku pun butuh dia untuk menemaniku dan membantu segala kepeluanku.
Jawabnya hanyalah senyuman.
****
0 komentar