Keputusan Itu
Akhir pekan.
Risna sedang duduk berjemur di luar pagar rumah. Sesekali dia menyapa dan membalas sapaan tetangga yang lewat depan rumah. Ketika sedang ngobrol dengan tetangga yang menanyakan kesehatannya, datanglah mobil yang sangat dihafal luar kepala plat nomernya yang memang diharapkan sekali kedatangannya. Dias, putri semata wayangnya turun dari mobil sambil membawa sekantong mangga yang disusul oleh Radit, menantunya. Mereka menyalaminya. Inilah saatnya, pikir Risna.
Ketiganya masuk ke dalam rumah yang disambut oleh Brata, suami Risna.
“Wah, anak papa mudik,” Sambut Brata sambil mencium kening putri kesayangannya. Kemudian disalaminya Radit dengan senyum bahagia.
Dias lalu masuk kamarnya dan meletakkan tas mungil di atas meja rias yang terletak di dekat lemari pakaian. Kemudian dibukanya pintu dan dilihatnya suami dan orangtuanya sedang duduk santai di ruang keluarga. Di meja sudah tersedia dua cangkir kopi yang masih mengeluarkan kepulan yang baunya memenuhi area tersebut. Mereka pun terlibat obrolan seru, hingga akhirnya suasana berubah ketika Risna membuka pembicaraan mengenai hal yang selama ini dia tahan untuk tidak diungkapkan.
“Radit, ibu ingin bertanya boleh?” Tanya Risna kepada Radit.
“Silakan Bu.” Jawab Radit.
“Dit, Ibu minta maaf jika banyak salah dan kata kepadamu. Mencoba memahami dan menerima ternyata sulit. Tidak dipikirkan juga tidak mungkin. Sebenarnya Ibu dan papa sudah lama ingin menanyakan ini tetapi kami menahannya sambil berharap. Ternyata harapan tinggallah harapan. Setiap ke sini kalian hanya di akhir pekan dan menginap sehari saja.” Risna diam sebentar sambil mengatur nafasnya.
“Ibu paham orangtuamu juga memerlukanmu untuk menjaganya. Kamu anak laki memang berkewajiban untuk itu. Waktu kalian belum menikah, bukankah sudah ibu tanyakan juga mengenai hal ini kemudian kesepakatan itu muncul bahwa akan tinggal di sini dan dua minggu sekali berkunjung ke rumah orangtuamu.”
“Kenyataanya hal itu hanya setahun selebihnya kalian kesini di akhir pekan. Ibu sadar bahwa setelah Dias menikah maka dia bertanggung jawab dan menjadi tanggung jawabmu. Lepas dari kami, orangtuanya. Ibu berharap sehat selalu tetapi ternyata akhir-akhir ini sering kambuh di saat ibu hanya sendiri di rumah karena papa tidak mungkin meninggalkan toko.”
Radit dan Dias diam dan saling pandang. Di sudut mata wanita cantik itu ada genangan yang hadir.
“Bu, Pa, maafkan kami yang masih baru berumah tangga dan di posisi yang dilematis. Aku sadar telah melanggar kesepakatan sehingga membuat Ibu jadi memikirkan semua ini,” Radit mengatur nafasnya kemudian melanjutkan, “maafkan kami Bu dan Pa.”
“Supaya adil mungkin kami akan mengontrak rumah di tengah antara rumah ini dan rumah orangtuaku. Bagaimana dik?”
“Harus kita pertimbangkan masak-masak Mas.” Jawab Dias.
“Nak, apa itu merupakan penyelesaian yang adil buat semuanya?” Tanya Brata.
“Insya Allah Pa.” Radit menjawab kemudian minta ijin untuk masuk kamar.
Risna diam tanpa kata. Ini bukan jawaban. Dias anakku aku berhak atasnya, menuntut kewajiban merawatku. Pikiran berkecamuk mengoyak kelembutan dan sikap pengertiannya. Semua goyah oleh keegoisan yang muncul menguasai hatinya. Risna masuk kamarnya disusul oleh Dias. Brata memilih ke depan untuk meredam rasa yang timbul.
“Bu, maafkan aku dan Mas Radit. Mungkin ini bukan jawaban yang ibu harapkan. Untuk saat ini bagi kami inilah solusi. Berat memang bagi kita. Ijinkan kami untuk mandiri. Menata rumah tangga seperti kalian dulu yang lepas dari kakek nenek merantau ke Ibu kota.”
Risna masih diam. Berusaha mencerna kata demi kata yang dilontarkan putrinya.
“Kami akan mencari rumah kontrakan dekat dari sini sehingga aku bisa sering mengunjungi ibu setiap hari sepulang dari kantor.” Jelas Dias.
“Ibu mau tidur.” Hanya itu kalimat yang diucapkan Risna yang membuat Dias undur diri dari kamar itu.
Dias menuju kamar menemui Radit. Sebenarnya untuk mengontrak rumah belum ada uang nganggur dalam kamus tabungan mereka. Wanita cantik ini menyadari hal tersebut. Keputusan suaminya jarang bisa dia patahkan dengan 1001 alasan masuk akal sekalipun.
Setibanya di kamarnya, Dias melihat suaminya sedang duduk depan komputer. Mengutak utik dunia maya mencari informasi rumah yang dikontrakkan. Wajah Radit terlihat masam.
“Mas, maafkan orangtuaku ya. Aku tahu keputusan untuk mengontrak rumah ini bukanlah solusi yang tepat mengingat tabungan kita yang belum mencukupi. Ibu hanya butuh kenyamanan hati dengan tinggalnya kita di sini.” Dias melihat Radit masih membisu, “kusadar juga perasaanmu yang tidak nyaman. Jujur aku bingung dan tidak tahu harus bersikap bagaimana.”
Sebenarnya ingin Dias utarakan bagaimana perlakuan mertuanya kepadanya akan tetapi dia urungkan karena bukan saat yang tepat untuk mengatakan hal tersebut terlebih melihat Radit yang hanya diam meskipun tangannya yang bergerak memainkan huruf demi huruf.
***
Pov Radit
Diam mungkin sebuah tindakan tepat saat ini, pikirnya. Sebenarnya dia malas membahas masalah ini karena belum ditemukannya solusi tepat dan adil buat semuanya. Tanpa ada yang tersakiti ataupun merasakan ketidaknyamanan. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana kalimat demi kalimat yang dilontarkan mertuanya mengingat kebiasaannya yang masih saja lekat dalam dirinya.
Menjadi anak tunggal dalam keluarga sebenarnya tidak menjadikan dia sebagai anak manja ataupun anak mami. Memang kebiasaan yang dari kecil sudah lekat padanya masih menempel dalam dirinya contohnya menaruh baju kotor di gantungan baju kamar mandi. Bertapa sebelum mengguyur badan istilah orangtuanya karena lamanya dia kalau mandi. Kebiasaan yang sangat tidak disukai oleh ibu mertuanya yang sangat menjunjung tinggi kerapian dan disiplin waktu.
Pacaran lama ternyata tidak menjamin bahwa kita sudah mengetahui semua yang ada dalam pasangan ataupun keluarganya. Setelah nyemplung dan setiap saat bersinggungan menjadi paham bahwa keluarga istrinya ini sangat detail bahkan dalam hal kecil sekalipun. Tidak boleh ada kotor sedikit saja di lantai ataupun meja makan tidak boleh berantakan meskipun fungsi meja itu juga merangkap sebagai tempat menaruh kaleng biskuit dan toples cemilan.
“Mas, aduh itu jangan ditaruh disitu. Di sini tempat kunci.” Itu hanya satu dari sekian aturan di rumah ini. Keluargaku yang biasa easy going membuatku ya asal naruh yang penting di meja.
Sebenarnya kasihan juga dengan istriku meskipun dia tidak cerita tetapi aku tahu bagaimana sikap mama sering membuat wanita yang sudah sah menjadi pendamping hidupnya itu menganak sungai di mata cantiknya. Posisi yang juga dilematis. Sepertinya kenyamanan kami yang harus diutamakan saat ini.
Aku juga paham mama dan papa sama seperti ibu dan papa, membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Waktu untuk diberi ruang tersendiri. Ah, lagi-lagi ku tak paham isi hati perempuan dimana aku ada dalam pusarannya. Tiga wanita yang semua aku cintai dalam porsi yang berbeda.
***
Ku pura-pura memejamkan mata karena saat itu aku hanya ingin sendiri. Bom waktu sudah kulempar dan tak mungkin kutarik lagi. Awalnya Mas Brata tidak setuju ketika kuutarakan niat untuk mengatakan semuanya kepada Dias dan Radit, tetapi aku sudah tidak bisa menahan keingintahuan dan lagi-lagi egoisku timbul dan menjadikan sakitku sebagai alasan. Padahal sebelum mereka menikah aku dikenal sebagai perempuan tangguh dan setegar karang meskipun penyakit itu terus menerus memberikan efek ke organ lainnya.
Keputusan yang sebenarnya tidak kuharapkan tetapi paling tidak hati anakku akan merasakan kenyamanan. Bukan tidak tahu jika kumelihat gurat kesedihan di wajah Dias saat hendak pulang ke rumah mertuanya. Memang putrinya perlu adaptasi. Hal ini sebenarnya membuatnya sadar bahwa perlakuannya kepada menantunya mungkin membuat laki-laki muda itu juga tidak berkenan. Meskipun yang dilakukannya untuk kebaikan Radit. Atas nama sayang dan dianggap anak. Akankah hal yang sama dasar alasanku dan besanku? Entahlah.
Kususut air mata di pipi dengan tissue yang kuambil dari meja rias. Biarlah hati ini yang bicara kepada anakku bagaimana sebenarnya seorang ibu itu mengetahui perubahan sikap anaknya meskipun tidak bisa membaca hatinya. Tidak mampu menyelaminya karena luasnya hati seluas samudera. (AH)
0 komentar